RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD IQBAL
Nama Muhammad Iqbal dikalangan Muslimin pada masa sekarang ini bukanlah nama yang asing. Ia dikenal terutama sebagai seorang Ulama’ besar yang berhasil memadukan kemampuan pemikiran dan kepenyairan sekaligus. Tidaklah mengherankan apabila orang menyebutnya sebagai pemikir yang penyair atau penyair yang pemikir. Kenyataannya, baik sebagai penyair maupun sebagai pemikir, ia telah mewariskan suatu karya filsafat yang hingga kini masih sulit dicarikan bandingannya di kalangan pemikir Muslim abad dua puluhan ini. Seperti yang pernah diramalakan oleh salah satu sahabat Iqbal, yakni M. M. Syarif, jauh sebelum Muhammad Iqbal mendapat penghargaan yang begitu luas dari kalangan Muslim maupun di luarnya, nama Iqbal pada saat itu bukan saja telah dikenal oleh setiap kalangan terpelajar Muslim. Lebih dari itu, nama Iqbal kini telah
menjadi semacam Mitos. Hampir setengah abad semenjak Iqbal meninggal, hingga kini, belum nampak adanya seorang pemikir Muslim yang muncul menggantikan tempat Iqbal, atau minimal bisa berdiri sejajar di sampingnya. Kenyataan ini seolah membenarkan ramalan sementara M. M. Syarif mengenai Iqbal, bahwa diperlukan waktu seratus tahun untuk menunggu lahirnya pengganti Iqbal.
Biografi seseorang sering kali dianggap sebagai lampu penerang untuk mengetahui dan membaca pikiran seorang tokoh. Seperti halnya untuk memahami pikiran Muhammad Iqbal. Latar belakang kehidupannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sabri Tabrazi, pemeriksaan terhadap karya-karya Iqbal akan lebih berhasil dan imajinatif apabila disorot dengan cahaya latar belakang sosial atau pengalaman hidupnya.28 Kebesaran nama Muhammad Iqbal dengan pemikirannya tidak dapat diragukan lagi khususnya bagi masyarakat Pakistan, Muhammad Iqbal tidak hanya sebagai seorang filosof namun juga seorang penyair, ahli hukum, pemikir politik, humanis, dan seorang yang visioner. Ia mendapat perhatian yang sangat luar biasa,dan hal tersebut terbukti dengan banyak penulis dan lembaga-lembaga yang mengkhususkan untuk membicarakan dan mengkaji pemikiran-pemikirannya secara mendalam dan juga tentang berbagai aspek-aspek yang berkaitan dengan diri Muhammad Iqbal.
Berikut ini paparan biografi dari Dr. Sir. Muhammad Iqbal:
Keluarga dan Masa Kelahiran Muhammad Iqbal
Sir Muhammad Iqbal merupakan sosok reformis Islam, politisi, penyair, ahli hukum serta sosok yang ahli dalam filsafat pendidikan. Ia dilahirkan di Sialkot, Punjab, India (sekarang termasuk wilayah pakistan) pada 9 November 1877 M,29 bertepatan pada tanggal 3 Dzul Qa’dah. Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian terakhir yang mengungkapkan bahwa Muhammad Iqbal lahir pada 9 November 1877, bukan 22 Februari 1873 seperti yang kita kenal selama ini. Iqbal merupakan keturunan dari kasta Brahma Kasymir, yang terkenal dengan kebijaksanaan rum dan tabriz nya,31 dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari Lembah Kasymir.32 Kurang lebih pada tiga abad yang lalu, ketika dinasti Moghul yaitu sebuah dinasti Islam terbesar yang berkuasa di India, salah seorang nenek moyang Iqbal masuk Islam, dan nenek moyangnya tersebut masuk Islam dibawah bimbingan Syah Hamdani, seorang tokoh Muslim pada waktu itu. Iqbal termasuk dari kalangan keluarga sufi dimana kakeknya bernama Syeikh Muhammad Rofiq, berasal dari daerah Lahore, Kasymir, yang kemudian hijrah ke Sialkot, Punjab. Sedangkan ayahnya bernama Syeikh Nur Muhammad, beliau adalah seorang sufi yang zuhud. Dalam sumber lain, ayah Muhammad Iqbal yang bernama Nur Muhammad ini pada mulanya bekerja pada dinas pemerintahan dan kemudian beralih ke pedagang, dikenal sebagai seorang yang amat shaleh dan kuat beragamanya, bahkan mempunyai kecenderungan sufi. Begitu juga dengan Ibu Muhammad Iqbal, yaitu Imam Bibi adalah seorang wanita yang solihah dan taqwa. Saat Iqbal dilahirkan pada tahun 1877, gaung peristiwa tragis perang kemerdekaan 1857 masih melekat segar dalam ingatan kaum Muslim India. Dalam sejarahnya, peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan rakyat India yang mengakibatkan hilangnya kemerdekaan kaum Muslim pada khususnya, dan orang-orang yang kemudian takluk kepada kolonialis Inggris yang menang. Dalam tragedi ini sekitar 500.000 rakyat India sebagian besar Muslim, tewas dalam pembalasan dendam karena pembunuhan tujuh ribu serdadu Inggris semasa perlawanan. Ironisnya, kaum Hindu juga memperlihatkan perasaan bermusuhan terhadap kaum Muslimin yang kalah. Dikarenakan hal ini, kaum muslim terbelenggu ketidakberdayaan dalam masa kekacauan dan keputusasaan.
Sejarah lain menyebutkan pula, dimana pada saat itu situasi India dalam keadaan tidak stabil, akibat peristiwa tahun 1857, dimana tahun tersebut merupakan peristiwa runtuhnya Dinasti Moghul, yakni ditandai peristiwa pertempuran antara Bahadur Syah (memerintah 1837-1857) sebagai Raja Moghul
terakhir bersama dengan kaum Muslimin dan golongan Hindu mengadakan pemberontakan terhadap Inggris. Pemberontakan terjadi tanggal 10 Mei 1857, akibat pemberontakan ini, Bahadur Syah serta beberapa kaum Mujahidin dibuang. Inggris semakin kuat posisinya di India terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Intervensi Inggris terhadap pemerintahan di India semakin jauh, dan The East India Company (EIC) dibubarkan.38 Umat Islam sejak mula merupakan minoritas di India, semakin nampak kemundurannya dengan munculnya degenerasi aqidah dan kemudian diikuti oleh degenerasi sosio-moral, sosio-politik serta dekadensi etnik.39 Kondisi tersebut menyebabkan praktek keagamaan umat Islam tidak lagi murni, yang telah bercampur dengan faham dan praktek yang berasal dari Persia dan India.40 Lambat laun timbul semangat kaum intelektual India seperti Ahmad Khan (1817-1898), dan Amir Ali (1849-1928), yang berusaha membebaskan umat Islam dari kemunduran dengan cara mengadakan gerakan pembaharuan pemikiran.
Menurut Ahmad Khan, umat Islam dapat maju dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dengan Amir Ali yang berusaha menghidupkan kembali pemikiran rasional dan filosofis yang terdapat dalam sejarah Islam. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan pembaharuan mereka dikenal dengan gerakan Aligarh. Gerakan Aligarh tersebut dirintis oleh Ahmad Khan dan kemudian didirikan oleh murid dan pengikutnya, gerakan ini sebagai penggerak utama terwujudnya pembaharuan pemikiran di kalangan Islam di India yang pusatnya berada di sekolah M.A.O.C (Muhammad Anglo Oriental College) yang pada tahun 1920 namanya diganti dengan Universitas Islam Aligarh, gerakan ini mengembangkan pemikiran rasional serta menumbuhkan semangat kebangsaan dan keagamaan. Diantara tokoh-tokoh gerakan ini adalah Chiragh Ali, Salahuddin Khudu Bakhs, Maulvi Aziz Ahmad dan Sibli Nu’mani.
RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABDUH
Periode Pertumbuhan (1849-1877 M)
Abduh, menurut pendapat umum lahir pada tahun 1265 H/1849 M. Ada pendapat lain yang mengatakan ia lahir pada tahun 1262 H/1845 M. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan sumber tulisan. Boleh jadi pula, mencatat kelahiran belum biasa dilakukan oleh masyarakat di tempat orang tua Abduh yang bernama Mahallat Nasr, di Hilir Mesir, Kabupaten al-Buhaerah di wilayah al-Gharbiyah, pada masa itu. Alasan lain penyebab perbedaan waktu kelahiran itu boleh jadi karena situasi politik yang tidak menentu, orang tua Abduh berpindah-pindah dan tidak memperhatikan tanggal dan tempat kelahiran putra-putrinya secara serius. Ayah Abduh bernama Abduh ibn Hasan Khair Allah. Dengan begitu nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Keluarganya hidup dari hasil pertanian, namun mempunyai jiwa kegamaan yang teguh, taat, dan berpandangan terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Ayahnya menganjurkan Abduh untuk menuntut ilmu pengetahuan. Masa pendidikan Abduh dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis melalui orang tuanya sendiri. Ia selanjutnya belajar al-Qur’an kepada seorang hafiz. Dalam waktu dua tahun ia sendiri menjadi seorang hafiz pula. Berikutnya ia belajar di Mesjid Ahmadi, di Thantha. Metode pengajaran yang menitikberatkan hafalan tanpa pengertian bagi murid-muridnya di sekolah itu, membuat Abduh merasa tidak puas. Ia kembali ke Mahallat Nashr dan bertekad melanjutkan usaha orang tuanya di lapangan pertanian. Kala itu ia diperkirakan berusia 16 tahun, di usia itu pula ia menikah. Orang tuanya yang mempunyai apresiasi yang memadai terhadap ilmu pengetahuan tidak setuju dengan tekad Abduh yang hanya ingin bertani. Orang tuanya memerintahkan Abduh untuk kembali belajar di Mesjid Ahmadi di Thantha. Dalam perjalan kembali ke Thantha ia menyimpang ke desa Kanisah Urin, tempat tinggal kaum kerabat pihak ayahnya. Seorang di antara kerabat ayahnya itu adalah Syeikh Darwisy Khadr yang sering melawat ke luar Mesir belajar berbagai ilmu agama Islam, dan pengikut tarikat al-Syaziliah. Syeikh Darwisy berhasil membina kehidupan ruhani dan intelektual Abduh. Dengan semangat baru, di tahun 1870 M. Abduh kembali ke Thantha, dan enam bulan kemudian ia belajar di Al-Azhar. Di al-Azhar kekecewaannya seperti sebelumnya di Mesjid Ahmadi, Thantha kembali terulang. Ia, bahkan mengatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis merusak akal dan daya nanarnya. Untung saja di saat ini Abduh berjumpa dengan Jamal al-Din al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya, sahabat dan tokoh pembaru Islam yang amat terkemuka kala itu. Al-Afghani menjadi tokoh alternatif oleh Abduh dalam memperdalam ilmu pengetahuan, bukan saja yang berhubungan dengan ilmu agma Islam, tetapi juga ilmu lainnya. Abduh, di samping terus belajar di al-Azhar, walaupun merasa tidak berkenan dengan metode pendidikan dan pengajaran yang diterapkan, sekan-akan mendapat kepuasan dari al-Afghani yang mengutamakan pengertian dan diskusi-diskusi dalam lingkaran studi yang diasuh tokoh ini. Aktivitas Abduh di luar kampus, terutama dalam diskusi bersama lingkaran studi al-Afghani, bukan saja telah memeperluas cakrawala dan kemampuan intelektualitasnya, bahkan mungkin telah pula menjadi faktor yang mendorongnya menyelesaikan studi akademiknya di al-Azhar. Pada tahun 1877 M. ia menerima gelar ‘Alim dan berhak menjadi dosen di Universitas al-Azhar itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda adalah obsesi kami